Cerpen Ifla Maulana
Bagian Ke-1.
Terlahir dari keluarga miskin bagi Malik bukan suatu kesalahan, ia menjadi mengerti cara menghargai apapun yang sudah diterimanya. Pola didikan orang tuanya begitu keras, tak pernah memanjakan anaknya. Pernah suatu ketika Malik kecil ia menangis ingin memiliki mainan karena ia selalu diledek oleh teman-temannya, lantaran hanya malik yang tak pernah dibelikan mainan oleh orang tuanya. Tapi tak digubris oleh ayahnya. Ibunya yang diam-diam ingin menaruh iba melihat anaknya menangis, ia sadar keterbatasan ekonomi keluarga yang tak bisa membahagiakan anaknya.
Malik dibiarkan menangis, merengek, meminta dan memanggil kedua orang tuanya sambil berteriak. Setelah mereda rengekannya, Ayahnya mencoba mendekati Malik. Bukan tanpa sebab, sikap Ayahnya yang begitu, justru ingin membuat anaknya sadar bahwa ia hidup bukan cuma meladeni hawa nafsu. “Nak, jika boleh Ayah kasih saran, sebaiknya kau tak perlu merasa iri kepada teman-temanmu. Orang tua teman-temanmu itu semuanya orang berada, jadi ia pantas jika menginginkan sesuatu langsung diberikan.
Tapi Ayah dan Ibu bukan lah orang berada. Tentu kamu tahu bahwa penghasilan Ayah tak seberapa, bisa menutupi kebutuhan besok saja alhamdulillah. Tapi apapun itu, kita tetap harus mensyukurinya. Baik dan buruk atas apapun yang menimpamu itu harus patut disyukuri. Dan ini merupakan pelajaran untukmu, hidup bukan cuma tentang memuaskan keinginan. Kau harus mempunyai kontrol dalam diri, boleh saja kita mempunyai keinginan tapi kita harus sadar akan keterbatasan diri kita. Jika saat ini kamu menginginkan sesuatu, usahakan kamu harus mencarinya sendiri.” Kata Ayahnya.
“Maksud Ayah gimana?” Tanya Malik keheranan.
“Maksud Ayah begini, Nak, ketika kelak kau sudah dewasa lalu kamu mempunyai keinginan apapun itu, sebisa mungkin kamu mencoba berusaha terlebih dahulu. Jika memang dalam usahamu masih belum tergapai juga keinginanmu, kamu tak perlu marah pada keadaan. Setidaknya kamu sudah melakukan proses agar bisa mencapai keinginan tersebut. Karna sesuatu yang datangnya dari usaha kita sendiri itu akan sangat terasa.” Jawab Ayahnya dengan begitu pelan.
Kata-kata Ayahnya serupa panah yang menancap tepat pada palung jiwa Malik, ia meresapi semua perkataan yang dilontarkan oleh Ayahnya.
Kini Malik sudah mulai beranjak dewasa. Ia sekarang menjadi seorang laki-laki mandiri. Ayahnya kian menua dan sekarang sudah mulai sakit-sakitan, sudah berjalan empat tahun kebelakang ia divonis oleh dokter mengidap penyakit TBC. Malik kini menjadi sosok tulang punggung keluarga, penghasilan dari kerja yang serabutan hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sekarang dan besok, tapi ia sesekali menabung sedikit uang untuk membeli obat buat kesembuhan Ayahnya.
Sepetak sawah yang dimiliki Ayahnya sudah dijual, tapi masih belum cukup untuk membelikan obat untuk bisa sembuh seperti semula. Pernah ia menjadi pegawai di warung makan pecel lele sampai menjadi buruh di pabrik tahu. Ia sudah tidak melanjutkan sekolah semenjak ayahnya sakit, karena tidak ada cara lain untuk membantu orang tuanya yang semakin hari tambah dimakan usia.
Tapi Malik sangat bersyukur atas didikan orang tuanya, meski ia mencicipi bangku sekolah hanya sampai SMA, tapi ia tak pernah berhenti untuk belajar.
Ayahnya dulu mantan seorang guru di sekolah rakyat, ia dididik langsung oleh Tan Malaka, pendiri sekolah rakyat tersebut. Bung Tan selalu menanamkan kepada muridnya agar untuk selalu menghargai antar sesama. Tak boleh manusia satu dengan lainnya saling menindas apalagi mengatasnamakan ras, agama, miskin atau kaya. Hasil didikan itu lah yang sangat membekas oleh Ayahnya sampai ia tanamkan dalam diri anaknya. Bahwa dalam prinsipnya, manusia hidup saling melengkapi. Status, kedudukan atau harta sudah tidak ada artinya lagi jika manusia bisa saling menghargai antar sesamanya.
Ayahnya sangat cerdas, semua buku sudah dilahap habis. Saat muda dulu, setelah mendapat upahnya dari hasil kerja di pabrik tebu, Sang Ayah langsung membelikan semuanya buku. Ia bertekad bahwa kelak ketika punya anak, ia akan mewariskan semua bukunya kepada anaknya. Satu-satunya warisan yang terpenting menurut Ayah Malik adalah warisan buku. Pengetahuan menjadi nomor wahid bagi Ayahnya. Dan sekarang, warisan itu masih ada dan akan tetap ada. Karna dengan itu salah satu cara Malik agar bisa mereguk karna hausnya pegetahuan.
Hari sudah mulai sore, cuaca di luar rumah gerimis. Malik sedang membaca di kamar, Ibunya sedang di dapur untuk menyiapkan makan malam. Dari luar terdengar suara teriakan ayahnya, “Buuuu, Liiiik…” teriak Ayahnya.
Malik langsung lari menghampiri Ayahnya, Ibunya juga segera mematikan api dan bergegas menjumpai suaminya. “Ayah kenapa?.” Tanya malik dengan muka yang begitu khawatir. Suasanya menjadi sangat sendu, hujan di luar semakin lebat. Ditambah gemuruh petir dan angin yang begitu kencang.
“Ayah tidak apa-apa, Nak, Ayah hanya ingin istirahat.” Kata Ayahnya dengan nafas yang sudah begitu berat. Batuknya semakin menjadi-jadi. Obat dari dokter kini sudah habis, Malik belum membelikannya. Karna obatnya harus ditebus dengan uang yang jumlahnya tak sedikit. Ia sedang mengumpulkan uang dari hasil kerjanya yang sekarang memerah susu sapi di kandang H. Naim. Ia butuh empat hari kerja dengan lemburan setiap harinya agar bisa menebus obat ayahnya.
“Lik, Ayah titip Ibumu. Jika esok Ayah tak bangun lagi. Kau jaga Ibumu. Oh iya, Ibumu sekarang sudah semakin tua. Ayah dengar kamu sekarang sedang menjalin kasih dengan putri Pak Kiai. Jangan menunda terlalu lama, kasian Ibumu butuh teman.” Kata Ayahnya sambil tersenyum. Malik tak menjawab apapun dari permintaan Ayahnya, ia hanya bisa diam dan menganggukan kepala tanda mengiyakan. Kemudian pelan-pelan ia menutup matanya, nafasnya sudah bekerja teratur kembali. Keduanya sudah kembali lega setelah beberapa jam dibuat khawatir oleh keadaan Ayahnya.
Kisah antara Malik dengan Kinasih bermula pada kekaguman Kinasih, Malik menjadi sosok pria yg sederhana dan sangat cerdas, ia tak pernah neko-neko dalam bertingkah. Keduanya bertemu di sebuah pengajian Kiai Abdul. Malik sangat cerdas dari teman-teman sebayanya, ia menjadi murid paling aktif ketika diskusi digelar setelah pengajian. Dari berbagai pertanyaan yang begitu ribet, semua terjawab dengan jelas dan cermat oleh Malik. Kiainya juga sangat mengakui atas kecerdasan Malik, ia mempunyai wawasan yang begitu luas.
Saat itu juga diam-diam Kinasih selalu memperhatikan Malik ketika ia sedang berargumen. Ia selalu berdercak kagum ketika melihat Malik sedang berdebat dengan temannya, bukan pada isi perdebatannya yang Kinasih suka. Tapi pada apa yang disampaikan oleh Malik. Ia sangat cakap dalam berbicara, tegas dan teguh akan pendiriannya.
Sampai pada saatnya, Malik dan Kinasih menjalin kasih. Meski saat pertama Malik mempunyai perasaan minder yang luar biasa. Kinasih adalah anak bungsu dari Kiai Junaidi. Sosok yang dikenal sebagai Kiai yang tawadu. Tapi perasaan minder itu ia tepis karena Kinasih selalu meyakinkan Malik bahwa, “Orang-orang boleh melarang kita dalam hal apapun. Kecuali cinta.” Begitu kira-kira.
Bersambung …